Footballism

January 18th, 2021 Comments off

Fenomena sepakbola seiring berkembangnya zaman memang banyak mengalami perubahan. Entah itu dari segi aturan, federasi yang mengaturnya, teknologi yang digunakan, manajemen sebuah tim, pemain, pelatih sampai suporternya.

 

Banyak orang di seluruh dunia ini menyukai olahrga 11v11 ini dengan berbagai macam alasan. Seperti karena menyukai sebuah tim karena mempunyai materi pemain bintang, atau karena tim itu mempunyai histori yang sangat panjang. Bisa juga karena tim itu mewakili daerah kita sendiri (support your local team) yang walaupun secara materi pemain ataupun kualitas tim biasa saja, bahkan hanya berkompetisi di kasta terendah suatu liga. Ada juga menyukainya karena pemainnya yang ganteng-ganteng (biasanya para cewek), yaa itu sah-sah saja semua orang mempunyai alasannya masing-masing.

 

Karena begitu terkenalnya, penulis pernah berfikir bagaimana jika sepakbola ini menjadi sebuah “isme” yang baru di dunia ini ? “isme” sendiri memiliki arti suatu pandangan, ideologi, keyakinan, ataupun kepercayaan. Kita lihat saja begitu banyak orang di dunia ini menyukai sepakbola, khususnya di Indonesia. Banyak orang yang rela pergi ke stadion untuk mendukung tim kebanggaan walaupun jarak dari rumah ke stadion mencapain ratusan kilometer. Belum lagi jika tim kebanggaan tersebut tandang ke tim lawan (awayday). Mereka (supporter) rela pergi jauh ke stadion lawan dengan mengorbankan uang untuk membiayai transportasi serta membeli tiket. Sampai rela bolos sekolah ataupun kerja (jika pertandingan dilakukan pada tengah pekan), atau bahkan nyawa mereka taruhkan (jika bermain di kandang rival). Mereka segitu gila dan fanatiknya sampai rela mengorbankan apapun demi bisa menyaksikan tim kebanggaannya berlaga. Dengan harapan tim tersebut menang dan menjadi juara seperti yang mereka inginkan.

 

Dengan cinta dan tulus hati mereka lakukan semuanya demi tim kebanggaan bisa meraih kejayaan, seolah mereka hidup ditakdirkan hanya untuk mendukung tim yang mereka banggakan. Apabila tim tersebut sedang mengalami penurunan dalam segi penampilan di lapangan, para supporter tak segan untuk menyampaikan kritikan hingga cacian kepada tim atau bahkan manajemen yang menaungi tim tersebut. Spanduk besar bertuliskan kritikan yang menjadi keresahan para supporter dibentangkan di dalam stadion pada saat timnya bertanding. Nyanyian (chant) mereka teriakan dengan lantang, berharap tim dan manajemen menanggapi apa yang menjadi keresahan para supporter. Namun apabila performa tim tidak kunjung mengalami kenaikan dalam beberapa pertandingan, para supporter rela berbondong-bondong menggeruduk mess (rumah) tim kebanggannya. Melakukan demonstrasi dengan harapan bisa berdialog langsung dengan manajemen yang bertanggungjawab atas performa tim kebanggaannya. Memang banyak hal yang dikorbankan oleh para supporter dan semuanya itu dilakukan hanya untuk tim kebanggaannya mencapai kejayaan.

 

Itu bisa menjadi salah satu bukti bahwasanya sekarang sepakbola sudah menjadi “isme” baru di dunia ini, oleh karena itu jangan heran jika suatu saat nanti sepakbola menjadi sebuah agama ataupun kepercayaan baru yang dianut oleh manusia di dunia ini.

 

Isme

Mengaitkan permainan sepakbola dengan “isme” nya itu sendiri, yang dalam hal ini berarti suatu pandangan ataupun ideologi. Ya ideologi yang menurut KBBI mempunyai arti kumpulan konsep bersistem, dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dan juga paham atau tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

 

Banyak macam ideologi di dunia yang berkembang seiring berjalannya waktu, seperti komunisme, sosialisme dan anarkisme yang dicap sebagai ideologi kiri oleh beberapa orang. Ada juga kapitalisme dan liberalisme yang dicap sebagai ideologi kanan. Tapi ada salah satu ideologi yang begitu erat hubungannya dengan sepakbola, kalau diruntut secara historis yaitu anarkisme.

 

Anarkisme yang secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, memiliki kata dasar anarchein tersisip kata bentukan a- (tidak/tanpa) dengan archein (pemerintah/kekuasaan yang menerapkan kontrol dan otoritas secara reperesif termasuk perbudakan dan tirani). Bukannya suatu kelompok yang hanya melakukan tindakan brutal, barbar merusak fasilitas umum seperti yang dikatakan pemerintah akhir-akhir ini (mungkin orang-orang di pemerintahan belum pernah baca buku tentang anarkisme kali yaaa).

Lalu apa hubungannya anarkisme dengan sepakbola ???

 

Kaum anarkis yang pada jaman dahulu terdiri dari para kaum kelas pekerja, memandang olahraga sebagai kesempatan untuk bisa bertemu dengan kaum kelas pekerja lain. Untuk mengorganisasikan diri sendiri bagi perubahan dalam melakukan perlawanan serta pemberontakan terhadap kaum borjuis.

 

Contoh nyatanya pada tahun 2005, berawal dari permasalahan bagaimana caranya supaya dapat mengembalikan hutang sebesar 850 juta USD dalam kasus pengambilalihan kepemilikan Manchester United oleh Malcolm Glazer. Mereka membebankan kenaikan harga tiket kepada para fans selama semusim permainan. Oleh karena itu para fans yang pada saat itu hanya dianggap sebagai pelanggan klub, tidak punya hak suara dalam berbagai permasalahan klub (supporter just customer). Karena peristiwa tersebut, sebuah kelompok fans membentuk klub tandingan sebagai bentuk protes dengan nama FC United of Manchester (FCUM). Sebelumnya dalam pembentukan klub serta nama klub pun mereka melakukan pemungutan suara langsung secara demokratis.

 

FCUM berusaha bertahan sebagai organisasi non-profit dengan melakukan komunikasi serta berjejaring dengan komunitas lokal, dan juga tidak mencantumkan sponsor di kaos klub mereka. Mereka pun memutuskan semua permasalahan klub secara demokrasi bersama, seperti menentukan harga tiket pertandingan, seberapa banyak biaya yang dibebankan kepada anggota untuk menjalankan kelangsungan klub.

 

Itu merupakan salah satu contoh nyata yang dilakukan oleh para kaum kelas pekerja bisa mengelola suatu klub secara komunal. Menerapkan sistem demokrasi bersama tanpa menindas satu sama lain. Terus bertahan dalam arus besar yang diciptakan oleh para kaum pemodal, yang hanya mementingkan keuntungan untuk pribadi mereka (komersialisasi). Tanpa mementingkan kehidupan kaum bawah (proletar) yang semakin hari semakin menderita.

 

Tindakan yang dilakukan oleh para kumpulan fans dengan membentuk tim tandingan ini dapat menjadi semangat bagi setiap orang yang ada di dunia. Untuk melakukan sebuah perubahan besar dalam kehidupan (minimal di lingkungan sekitar), tidak hanya pasrah melihat serta menerima nasib. Sehingga keringatnya terus-terusan diperas oleh para kaum pemilik modal, tanpa adanya keberanian melakukan sebuah tindakan perlawanan untuk kebebasan diri sendiri dan juga orang lain di sekitar.

Seperti kata Tan Malaka, “sepakbola adalah alat perjuangan”.

 

Sepakbola Menyatukan
Ada peristiwa menarik yang terjadi saat Perang Dunia 1, tepatnya di tanggal 25 Desember 1914 saat merayakan Hari Natal. Tentara Jerman dan Tentara Inggris Raya melakukan gencatan senjata. Kedua negara itu sama-sama mendirikan barak yang tak begitu jauh satu sama lain di Ypres, Belgia. Gencatan senjata terjadi tepat tengah malam saat perayaan Natal, berawal dari Tentara Inggris yang mendengar Tentara Jerman bernyanyi dengan suka cita.

 

Lalu saat fajar menyingsing, Tentara Jerman keluar dari barak mendekati Tentara Inggris sambil berteriak “Selamat Natal” menggunakan bahasa Inggris tentunya. Awalnya muncul kekhawatiran dari Tentara Inggris, sehingga mereka pun mulai mempersiapkan persenjataan mereka. Tapi karena melihat Tentara Jerman datang dengan tidak membawa senjata, maka kedua pihak kemudian berani mendekat dan mulai berjabat tangan dan saling berbalas senyuman. Berlanjut dengan saling bertukar hadiah, rokok, makan bersama dan saling menyanyikan lagu Natal bersama-sama.

 

Mengutip dari football5star.com, kedua kubu bersepakat untuk menggelar sebuah pertandingan sepakbola di tanah tak bertuan. Pertandingan tersebut hanya berlangsung selama 30 menit, dengan skor akhir 3-2 untuk kemenangan Tentara Jerman kala itu.

 

Kebenaran dari peristiwa tersebut ternyata telah diperdebatkan oleh beberapa sejarawan. Pada tahun 1984, Malcom Brown dan Shirley Seaton menyimpulkan, bahwa mungkin ada upaya untuk melaksanakan pertandingan terorganisir namun gagal karena keadaan lapangan.
Betapa luar biasa indahnya, namun betapa anehnya itu. Para perwira Inggris juga merasakan hal yang sama. Karenanya Natal, perayaan cinta, berhasil menyatukan musuh bebuyutan sebagai teman untuk zementara waktu“, kenang Letnan Jerman, Kurt Zehmisch.

 

Namun sayangnya, pertempuran tetap terjadi dan terus berlanjut selama Perang Dunia 1 itu. Karena beberapa komando tertinggi di kedua belah pihak tidak senang dengan kejadian itu, dengan alasan merusak semangat juang. Namun peristiwa Christmas Truce yang terjadi pada tahun 1914 tersebut akan tetap dikenang sebagai sebuah upaya perdamaian melalui sepakbola.

Salah satu fragmen Hari Natal dalam sejarah yang berkesan dikala Perang Dunia 1. Gencatan senjata diberhentikan, saling mengucapkan salam natal, sampai bermain bola bersama, begitu sangat sureal.

 

Jaba

Aristeri Omada

January 18th, 2021 Comments off

Kita berpikir, mengapa manusia hidup dalam keadaan yang berbeda-beda dimana perbedaan itu nampak ada dan nyata bentuknya, terlihat oleh angka dan terasa oleh indra. Namun pernahkah kita memikirkan perbedaan yang dimaksud itu bukan terletak pada perbedaan finansial, bukan perbedaan posisi dan bukan pula perbedaan status sosial. Lantas perbedaan seperti apakah yang sedang dibicarakan ini ? Maka jawabanya ada dalam nalar yang berada dalam tempat gelap gulita.

 

Terkadang kehidupan pelik ini menggembirakan karena kita bisa menikmati anugerah dari Tuhan dengan mahakaryanya bisa menciptakan satu wujud yang penuh makna dan tanya. Tentu saja manusia.
Lalu apa yang kita pikirkan mengenai manusia ? Penulis berpikir manusia adalah mahluk sosial, karena secara wujud manusia memiliki alat yaitu nalar untuk berpikir, akal sehat yang dijaga oleh kewarasan, juga memiliki indra yang mampu terkonek dengan akal, serta memiliki semua alat interaksi yang mampu berkomunikasi dengan baik.

 

Mesin Waktu Bicara
Berbicara alat, kita akan melakukan perjalanan jauh melewati dimensi waktu. Dimana manusia tinggal di gua-gua, kita bisa membayangkan manusia dalam bertahan hidup menggunakan batu sebagai alat pertahanan juga sebagai alat berburu. Human society 1.0 ini mencari makan menggunakan alat sederhana untuk memproduksi makanan sendiri juga untuk memproduksi pakaiannya sendiri. Kita sebut saja alat itu sebagai alat produksi. Kehidupan masyarakat yang masih primitif dan mengandalkan hasil perburuan.

 

Mari kita berjalan maju, kita akan melihat masyarakat sudah berkembang dengan bercocok tanam yang sering kita sebut dengan zaman perunggu (6000SM-1000SM). Pada zaman itu masyarakat sudah mulai mengenal besi karena ditemukannya peleburan perunggu dan besi, dan inilah alat produksi yang sekarang sudah menjadi besi dan mulai dikenal roda dan menggunakan kuda pun ada pada zaman ini.

 

Dimensi Gelap
Jika kita maju lagi maka kita akan dihadapkan dengan abad pertengahan, dimana status kepemilikan dan status kekuasaan dimiliki oleh segelintir orang yang disebut bangsawan, dan penguasa. Adanya kepemilikan tanah, adanya imbalan jasa, adanya tenaga kerja. Yang memberi imbalan hidup bermewahan, yang berkerja hidup kecukupan, yang menjadi budak serasa hidup enggan mati tak mau.
Tentu saja jika kita berbicara alat untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, sudah bervarian di era ini. Apakah ada kejanggalan ? Tentu saja dengan adanya penghisapan dan perbudakan, seolah-olah manusia itu hanya dilihat dari segi finansial dan status sosialnya. Hilangnya sifat manusiawi dengan adanya suatu perbudakan.

 

Pertentangan
Mari kita melaju sedikit sebih cepat dimana zaman ditemukannya mesin uap pada tahun 1736, yang berdampak pada sebuah era masyarakat pada zaman tersebut. Era industri inilah yang mencatatkan sebuah sejarah pertentangan kelas.
Berbicara pertentangan kelas, dimana pada zaman tersebut kekuasaan modal para bangsawan sangat berpengaruh dan rakyatnya hanya bisa mendapatkan upah setelah bekerja siang malam.

 

Munculnya seorang pemuda bernama Friedrich Engel pada tahun 1848, berbarengan dengan munculnya sistem kapitalisme modern yang ditandai dengan meningkatnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita suatu negara.
Bayangkan jika suatu daerah memiliki 2 orang bangsawan dengan jumlah pekerja mencapai 2000 orang, yang terdiri dari pria, wanita, bahkan anak-anak. Semua itu bekerja tanpa batas waktu yang ditentukan.

 

Nihilnya keadilan, telah terjadinya penghisapan tenaga kerja dan eksploitasi manusia. Inilah potret kehidupan masa itu dan filsuf asal Jerman yang hidup dalam pengasingan di London yaitu Karl Marx melabeli ada 2 kelas yaitu Borjuis (yang mengendalikan/menguasai alat produksi), dan Proletar (kaum buruh, tani dan kaum jelata). Maka disinilah awal pertentangan kelas.

Gelombang Jalan
Pada era inilah mulai memantik rasa kepedulian sosial yang terjalin diantara kaum proletar. Dengan membentuk suatu perkumpulan untuk membicarakan bagaimana nasib mereka hari ini dan untuk kemudian hari.

 

Karena kondisi yang memprihatinkan bagi kaum pekerja yang hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan sandang dalam waktu singkat, bahkan belum sampai diberi upah kembali terkadang upahnya habis karena dia harus berobat. Sungguh pelik dan mencekik. Belum lagi ada yang harus kehilangan jarinya jika tergilas mesin karena begitu lelahnya bekerja. Itulah ketidakadilan, dampak dari keserakahan yang menaruh logika hanya di perutnya saja.

 

BELOK KIRI JALAN TERUS
Dalam kondisi penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh pemodal maka melahirkan spektrum politik yang merupakan pengklasifikasian posisi politik yang melahirkan golongan kiri dan golongan kanan.
Berbicara tentang penindasan dan penghisapan, sehingga munculah kata Aristeri Omada yang berasal dari Bahasa Yunani berarti golongan kiri.

 

Kelompok kiri biasanya dihubungkan dengan aliran Sosialisme ataupun Anarkisme yang berlawanan dengan golongan kanan seperti Fasisme ataupun Kapitalisme.

Dalam sudut pandang pemikiran kiri seperti Karl Marx yang menulis buku Das Kapital bersama Friedrich Angel bahwa kaum proletariat harus merebut alat produksi, dan pemikiran kiri yang revolusioner dengan solidaritas, kemanusiaan, dan keadilan sosialnya itu mampu memantik Revolusi Prancis yang menumbangkan feodalisme, serta monarki mutlak sehingga menggugurkan kesakralan mutlak kepala sang Raja serta digantikan dengan prinsip-prinsip Liberte, Egaliter, Fernente (kebebasan, persamaan, persaudaraan).

Dari Alat Produksi Menjadi Revolusi
Dari awal perjalanan waktu kita disuguhkan dengan alat yang dinamakan dengan alat produksi. Manusia tentunya memiliki pencernaan untuk menjalankan metabolisme dalam tubuhnya. Artinya manusia membutuhkan asupan, ya tentu saja manusia butuh makan. Jika dahulu alat produksi itu tombak maka sekarang alat produksi berubah menjadi mesin. Jadi yang memiliki mesin adalah para bangsawan.

 

Sedangkan orang yang kurang beruntung nasibnya harus bekerja jungkir balik. Demi memenuhi persamaan hak sebagai manusia maka terjadilah revolusi. Seperti Revolusi Bolshevik yang dimenangkan para buruh dan petani yang meruntuhkan Kekaisaran Rusia pada masa itu.

 

Yang mengharuskan terjadinya fenomena berdarah-darah dan dijadikan poros revolusi dari Tirai Besi sampai Tirai bambu, dengan Vladimir Lenin di Uni Soviet dan Mao Tse-tung di Tiongkok sehingga terjadinya sebuah Diktator Proletariat. Hingga munculnya sebuah pertanyaan dalam benak penulis, Adakah Revolusi yang Lebih Humanis ?

 

Individu Merdeka
Seorang Mikhail Bakunin berkata “kami yakin bahwa kebebasan tanpa sosialisme adalah hak istimewa, ketidakadilan dan bahwa sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan”.
Penulis memimpikan tentang masyarakat hidup damai tentram tanpa penindasan dan penghisapan, tanpa kontrol dan tanpa intervensi dari pihak manapun, tanpa negara, polisi, dan tentara yang sering melakukan kekerasan terhadap rakyatnya dan memeras upeti yang disebut pajak. Tatanan dunia yang berasaskan persaudaraan manusia yang akan menari dan berdansa bersama diatas lingkungan yang sehat dan bersih tanpa polusi.

 

Kerakyatan
Apa yang terbalut dalam sosialisme ? Kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, solidaritas, dan demokrasi.
Di Inggris ada sebuah varian sosialisme yang disebut Fabian Society, dimana suatu organisasi ini bertujuan untuk memajukan prinsip-prinsip sosialisme demokratis melalui upaya-upaya gruadualis dan reformis dalam demokrasi, bukan dengan cara-cara penggulingan revolusioner.

 

Jika kita berganti wilayah, tepatnya di daratan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik terdapat negeri yang besar dan subur, kala itu bernama Hindia-Belanda, sepertinya saya sedang bercerita tentang Negeri saya sendiri. Bangsa yang besar dengan beracam-macam suku dan budaya ini sedang mengalami fase dimana masyarakatnya terdampak imperialisme dan kolonialisme.

 

Bangsa-bangsa yang tadi saya ceritakan ternyata sedang mengeruk sumber daya alam beserta sumber daya manusianya. Namun di kemudian hari gagasan dan pemikiran anti-kolonial dan imperial dari Negeri Barat sana sampai pada negeri ini. Mulailah masyarakat priyai diperbolehkan untuk menempuh pendidikan dan terbentuknya organisasi Boedi Utomo, sebuah sekolah yang terciptalah cita-cita kemerdekaan bangsa.

 

Di suatu ketika sudah banyak dari mereka para pencetus kemerdekaan. Seperti HOS. Tjokroaminoto seorang bangsawan yang gigih memperjuangkan kemerdekaan, dengan pemikiran sosialsmenya ia mampu menjadi Bapak Bangsa dan anak didiknya mampu menjadi presiden pertama di negeri yang bernama Indonesia. Namun banyak cabang pemikiran yang datang, ada yang berporos pada Revolusi Bolshevik dan ada pula yang memiliki ide kebangsaannya sendiri, adapula yang menjadi ekstrimis islamis.

 

Bangsa yang besar yang mewarisi sebuah tradisi gotong royong. Soetan Sjahrir namanya, ia yang menggagas bahwa kemerdekaan itu harus direbut, bukan hasil pemberian dari penjajah.

Kini pasca merdeka, pergolakan politik berbasis kepentingan kian memanas. Perbedaan manifesto dan sikap politik menjadikan dinamika dan kondisi sosial yang tidak karuan, banyak pemberontakan- pemberontakan yang terjadi.

 

Setelah puncak konflik antara ABRI dan Partai Komunis Indonesia. Rasa-rasanya, negara berubah menjadi menakutkan serta otoriter. Kritik = Mati.

Setelah terjadi depresi ekonomi terjadi reformasi yang melahirkan Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Rakyat di negeri ini hanya disuguhkan lawakan-lawakan dari politik kekuasaan dan politik golongan, rakyat semakin dibodohi, demokrasi dikebiri, kemanusiaan dihilangkan secara perlahan.

 

Janggal bukan ? Disinilah saya bercerita mengenai arah pandang Sosialisme Kerakyatan yang menjujung tinggi harkat dan martabat manusia, yang berkeadilan, bersolidaritas atas demokrasi. Politik dan ekonomi harus selaras. Tentu saja.
Ujung tombak Revolusi adalah rakyat yang berevolusi. Alat produksi ? Tentu saja harus dimiliki oleh rakyat. Sehingga demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus berjalan secara beriringan.

 

Sampai dimana kita sekarang ? Kita sudah sampai diawal kembali di era modern, dimana Industri 4.0 dan Society 4.0 secara berbarengan. Disinilah era digitalisasi. Alat produksi sudah serba digital. Semuanya memakai network atau internet.

Ini bukan akhir dari cerita tetapi awal dari tantangan yang besar, yang akan berakhir hanya ada di tangan anda sendiri. Bangkit bergerak atau diam tertindas. Melawan atau dibungkam.

 

Gaga

Categories: Tulisan Tags:

Manifesto

January 18th, 2021 Comments off

Secara sadar melihat bermacam kerakusan menjelma sebagai Tuhan, dengan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Penindasan, penggusuran, pembungkaman dipertontonkan dengan jelas berhari-hari secara massal, sampai mata sudah terlalu muak melihat kebrutalan yang ada. Kekerasan hanya digunakan oleh orang-orang lemah sebagai senjata muslihat hasil dari kebodohan yang mutlak.

 

Kami memimpikan adanya kekuatan yang terhubung dari hati dan pikiran satu sama lain. Merubah kebenaran dari kesadaran untuk saling peduli dalam menjaga serta bertahan dalam suatu kondisi. Berusaha untuk membagikan apa yang kami miliki, dan membantu semampu yang kami bisa untuk semuanya tanpa terkecuali. Bersama melewati segala penderitaan dengan saling bergandengan tangan sepenuh kasih sayang,  selayaknya harmonisasi kehidupan. Bersama menghancurkan segala dikotomi yang sudah menggerogoti setiap pikiran pribadi, tanpa harus menyamaratakan semua perbedaan yang ada.

 

Kami adalah kamu, dia, dan mereka yang masih berdiri tegak melawan segala bentuk kerakusan yang ada di dunia.

 

Oksidasi

Categories: General Tags: